Rabu, 16 Juli 08 - oleh : Triharyo (Hengki) | 1 komentar | 5617 hits
Untitled document
Saya sangat sedih ketika mendengar berita Omar Berto (komisaris dan mantan Dirut PT KAI) dan juga Said Jenie (Guru besar ITB & Ketua BPPT) meninggal dunia dalam waktu yang hampir berdekatan. Selain kehilangan sahabat yang cukup dekat, kesedihan saya bertambah karena Indonesia telah kehilangan lagi dua alumni ITB yang telah cukup banyak berkarya bagi bangsa ini. Saya semakin dekat dengan Omar karena kami kebetulan sama-sama termotivasi untuk memanfaatkan jalur disamping rel kereta api, sebagai wahana mentransport berbagai utilitas industri seperti bahan bakar minyak, gas alam, air, dll.
Skema ini telah diterapkan di banyak negara-negara industri dan ingin kami coba di Indonesia. Sehingga dengan upaya ini, kami berharap pendapatan PT KAI dapat meningkat dengan penggunaan aset yang telah mereka miliki. Said menjadi dekat, karena kami sempat sering berdiskusi tentang bagaimana caranya meningkatkan inovasi di kalangan industriawan dan teknolog Indonesia.
Said terobsesi untuk meningkatkan daya inovasi bangsa ini, yang menurutnya merupakan salah satu solusi untuk keluar dari berbagai krisis. Meninggalnya kedua sahabat ini pada usia muda, mengingatkan kembali tentang hipotesa saya bahwa generasi muda Indonesia yang lahir di tahun-tahun 1955 s/d 1960 nampaknya sangat rentan terhadap berbagai penyakit. Para bayi yang lahir pada tahun-tahun tersebut, mengalami pertumbuhan yang kurang sempurna di tahun 1960 s/d 1970 karena Indonesia saat-saat itu sedang mengalami kemiskinan yang sangat luar biasa.
Daging ayam maupun sapi sangat mahal (tidak terbeli), beras juga tidak ada, sebagian besar dari kita terpaksa makan bulgur dengan hanya ikan asin, kita hanya bisa minum susu setiap 6 bulan sekali karena adanya penjatahan secangkir susu bubuk di Sekolah Dasar (inipun karena adanya sumbangan dari Unicef), wabah penyakit seperti cacar meraja-lela, dll. Kondisi ini mengakibatkan pertumbuhan badan anak Indonesia kala itu relatif menjadi tidak sempurna dan kurang kokoh. Dampak dari kerapuhan ini mulai terlihat sewaktu generasi kita memasuki usia 50 tahun keatas. Fenomena ini terjadi pada generasi militer yang lahir pada tahun 1935-1940, dimana masa pertumbuhan mereka terjadi saat pendudukan tentara Jepang. Bangsa ini juga mengalami penderitaan yang sangat parah di kala itu.
Ayah saya, yang pernah menjabat Asisten Personalia TNI, mengambil kesimpulan bahwa para Jendral yang lahir ditahun-tahun tersebut lebih cepat meninggal dari pada para jendral yang lahir di tahun-tahun 1920-1930. Karena di tahun 1925-1935, Indonesia mengalami kemakmuran dan kecukupan pangan yang relatif baik. Kepergian Omar dan Said mengingatkan kita untuk terus menjaga kesehatan kita. Tanpa kesehatan prima, tidak akan mampu kita berkarya. Selamat jalan para sahabatku, semoga anda berdua diterima disisi Allah SWT dan diampuni dosa-dosanya. Amien Salam Hengki
1. Gula Rafinasi Kamis, 18 September 08 - oleh : dewi nova iriani
SEbelumnya saya tidak mengerti perbedaan gula putih dan gula rafinasi. Paling tidak setelah membaca artikel tsb, saya sudah lebih bisa memahami perbedaan.