Kurs dekati Rp 10.000 - kenapa saya khawatir & apa yang harus dilakukan insinyur Indonesia
Sabtu, 11 Oktober 08 - oleh : Triharyo (Hengki) | 1 komentar | 7679 hits
Karena kurs Rupiah sempat capai Rp 10.130 pada Jumat sore, membuat saya terpaksa membuka-buka data dan melakukan analisa kondisi makro ekonomi Indonesia dengan lebih rinci. Analisa tersebut tentunya memakai data-data terakhir yang direlease oleh pemerintah dan juga merefer data-data pada saat kejadian krisis moneter tahun 1997-1998. Ternyata data-data makro ekonomi Indonesia saat ini, cukup membuat saya khawatir, karena kondisi saat ini, ada ”kemiripan” dengan data-data pada saat Krisis moneter.
Untuk melihat kekuatan nilai tukar Rupiah, maka saya biasanya melihat nilai surplus ekspor Indonesia (karena inilah penambah cadangan devisa), berapa cadangan devisa Indonesia, yang diukur terhadap kemampuan untuk belanja impor, dan yang terakhir adalah berapa nilai hutang Pemerintah & juga pihak swasta ke perbankan di luar negeri. Berikut analisa kami :
Surplus ekspor per bulan di tahun 1997 hanya sekitar US $ 980 juta. Sehingga cadangan devisa sulit untuk meningkat.
Cadangan devisa Indonesia pada akhir tahun 1997 sekitar US $ 22 Milyard yang cukup untuk belanja impor untuk sekitar 6 bulan (US $ 22 milyard dibagi US $3.4 milyard).
Tetapi hutang swasta kita saat itu, sudah mencapai US $ 34 Milyard. Hutang yang besar ini tidak menghasilkan Surplus Ekspor.
Ditinjau dari devisa untuk belanja import, cadangan kita sebenarnya cukup. Namun surplus Ekspor kita sangat kecil perbulannya, sehingga tidak bisa menambah cadangan devisa dengan signifikan. Selain itu hutang swasta Indonesia, yang tidak terkendali kala itu, menambah tekanan pada cadangan devisa Indonesia. Akibatnya Rupiah runtuh dan akhirnya kita terpaksa pinjam ke IMF & World Bank sebesar US $ 30 Milyard.
Data-data diatas membuat saya menjadi sangat khawatir. Surplus Ekpor kita per bulan di tahun 2008, hanya sekitar US $ 703 juta (dibanding US $ 3.3 Milyard di 2007). Data surplus Ekspor rata-rata per bulan di tahun ini, lebih kecil dari rata-rata per bulan di tahun 1997 (saat krismon)
Nah yang lebih mengkhawatirkan saya adalah nilai impor per bulan yang sangat luar biasa besar. Bulan Agustus 2008, nilai impor s/d Agustus sudah mencapai US $ 89 Milyard. Bandingkan dengan data tahun-tahun sebelumnya yang hanya separohnya (US $ 40 Milyard & US $ 46 Milyard). Sehingga impor per bulan di Agustus 2008 capai US $ 11.2 milyard. Nilai ini sudah sangat besar dan hampir 3.5x saat Krisis Moneter.
Lalu kalau kita perhitungkan dengan cadangan devisa kali ini, maka kekhawatiran saya semakin bertambah. Cadangan devisa Indonesia yang terakhir diumumkan pemerintah adalah US $ 57,1 Milyard dengan trend yang terus menurun (karena surplus Ekspor menurun drastis). Nilai ini kira-kira hanya cukup untuk 5 bulan impor (lebih kecil dari saat Krisis moneter, yang justru mampu sampai 6 bulan).
Sedangkan hutang swasta yang melalui bank, mungkin saat ini lebih terkendali karena adanya pengamanan-pengamanan sejak krisis moneter. Namun yang kurang terkendali adalah hutang di bursa efek yang menggunakan agunan saham, contoh hutang group Bakrie yang ternyata mencapai US $ 1,4 Milyard. Mudah-mudahan tidak banyak perusahaan swasta yang melakukan hutang dengan skema gadai saham (repo) dan kemudian gagal bayar. Karena semakin besar nilai hutang yang gagal bayar, maka akan semakin menekan dan memperkecil cadangan devisa. Sehingga pada akhirnya akan melemahkan Rupiah dengan sangat drastis.
APA YANG HARUS DILAKUKAN OLEH INSINYUR INDONESIA TERUTAMA ALUMNI ITB
Data-data diatas menunjukan bahwa kondisi Makro Indonesia terlihat sangat tidak menggembirakan. Nah, jika kegagalan di pasar modal mengakibatkan nilai tukar Rupiah menjadi sangat lemah (saya tidak mau bilang devaluasi), maka kegagalan di pasar modal Indonesia, karena kondisi ekonomi dunia, akan berdampak langsung pada rakyat Indonesia (krisis ekonomi). Hal ini berbeda dengan analisa pak SBY. Dari data-data analisa saya diatas, kemungkinan tersebut – ”ada”, terutama bila insinyur Indonesia tidak melakukan tindakan-tindakan apapun.
Dalam kesempatan ini, saya mengajak seluruh Insinyur Indonesia, dan terutama para Alumni ITB dimanapun anda bertugas, untuk mendorong pemakaian produk dan jasa dalam negeri. Upaya ini akan memperkecil nilai impor dan sekaligus menghemat devisa.
Kepada para insinyur ITB yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar seperti perusahaan-perusahaan minyak, kimia, petrokimia, pertambangan, perkebunan dll....saya mengharapkan anda semua ”berjuang mati-matian” untuk terus meningkatkan penggunaan produk dan jasa dalam negeri. Mulai tahun 2009, akan terjadi peperangan terbuka untuk merebut pasar produk dan jasa di seluruh dunia. Negara yang tidak mampu membela produk dan jasa bangsanya, saya sangat yakin akan menjadi bangsa yang sengsara. Untuk peperangan ini, hanya insinyur Indonesia-lah yang bisa memimpin pertempuran, bukan presiden apalagi jajaran pengelola keuangan. Hal ini sudah terbukti di Korea dan India.
Mohon maaf kalau kali ini, e-mail saya ini sangat panjang dan mungkin juga sangat membosankan. Tapi saya tulis e-mail ini dari hati yang paling dalam dan dengan cita-cita abadi bahwa hanya insinyur Indonesia-lah yang bisa menyelamatkan bangsa ini. Semakin cepat insinyur Indonesia sadar akan tanggung jawabnya, maka akan semakin cepat pula bangsa Indonesia akan maju. Semoga Allah SWT selalu bersama kita. Amien
I read your article Kurs dekati Rp 10.000 - kenapa saya khawatir apa yang harus dilakukan insinyur Indonesia
Eventhough I am novice in Bahasa I took time to translate your aticle throguh Kataku Toggle text which give me the fair tranlation of the concerns you have when the exchange rate approached 10000 Rp what should be done by the Indonesian Engineers
I fully agree with your analysis, eventhough some of the aricles in the newspapers like Jakarta Post etc., do give a different picture but positive your concerns are absolute and every responsible educated Indonesian should be aware of thier own responsibilities.
Primary concern is that Indonesia now become importer of oil enrgy instead of exporting it and forced to opt out of OPEC.
No doubt Indonesia economy has grown bountifully and I am surprised that energy wastage that taking place at all levals in the society.
Small drops make Ocean ; This concept is nowdays practiced in India, Korea. Japan is the first. Considerable amount of foreign exchange is saved by their individual attitudes.
We must be governed by the policies set by ourselves and let us not govern the policies - This must be fit at this time
Simple examples are if every rekayasa engineer practice of using public transport atleast thrice in a month by waking little early in the morning and reaching the office with comfort of public transport - How much is the oil energy saved ?
In the building two -light and AC are switched off during lunch and after 6.30PM automatically, tennis court lamps switched on only if practiced, let us also practice fully e commnting the vendor documents, e-approvals, document transmission by e-mail, ftp server - by making a target of atleast 1% per month on power cost shared by project etc., are good.
Eventhough I read your concenrns through Intranet in this regard(energy saving) and few are implemented
a lot more can be done.
If this is practiced devotedly by every individual as Indonesian I am sure the country is safe.
Let me hope that your wishes come true.
Thanks for spending your valuble time on this comment