Berikut ini karya terobosan yang menurut saya cukup bersejarah, dari para alumni jurusan Teknologi Industri ITB, bersama seluruh jajaran perusahaan mereka masing-masing.
Dendi Kurniawan, karena kepandaiannya, merupakan salah seorang penerima bea siswa dari Fullbright, sebuah bea siswa yang sangat sulit untuk diperoleh karena persyaratan-persyaratan nilainya yang sangat ketat. Ia memperoleh gelar S-2 dari Yale University pada bidang International economics. Dendi adalah salah seorang dari 25 orang penerima beasiswa Fullbright, dari seluruh dunia pada tahun 1999. Karena nilainya yang sangat luar biasa bagusnya, ia kemudian terpilih sebagai 4 orang mahasiswa terbaik versi Citicorp pada tahun 2000 dan memperoleh bea siswa tambahan dari Citicorp. Padahal untuk memperoleh penghargaan Citicorp tersebut, sang mahasiswa harus menjadi penerima bea siswa Fullbright. Dendi adalah salah seorang Indonesia pertama yang memperoleh penghargaan dari Citicorp tersebut.
Setelah lama bergerak di bidang Sekuritas dan juga pendanaan proyek di berbagai negara, Dendi akhirnya bergabung dengan PT Geothermal Dieng Patuha (Geodipa) sebagai Direktur Keuangan, karena diminta oleh Menteri BUMN, kala itu pak Sofyan Djalil, untuk mengembangkan industri pembangkit listrik dengan energi panas bumi (PLTP) di Indonesia. Merasa terpanggil karena ingin mengembangkan industri panas bumi, Dendi langsung terjun untuk mengatur pendanaan proyek PLTP Patuha-1 yang telah dirintis sebelumnya oleh Direksi PT Geodipa. Ia ternyata kemudian bertemu dengan salah seorang seniornya dari jurusan Teknologi Industri, Bien Subiantoro di Bank BNI.
Bien adalah direktur BNI untuk bidang hubungan internasional dan juga treasury. Ia termasuk direksi BNI yang cukup lama dan terus bertahan walaupun terjadi pergantian pimpinan puncak di BNI ber-kali-kali. Ini semua karena ketekunannya, kepandaiannya dan juga ketelitiannya. Ia pernah menjabat direktur pada bidang risk management dan juga jabatan-jabatan direksi lainnya.
Kedua alumni jurusan Teknologi Industri ini akhirnya bersatu-padu menyiapkan pendanaan senilai US $ 103 juta untuk pembangunan PLTP di daerah Patuha. Sepengetahuan saya, Pendanaan proyek ini adalah untuk pertama kalinya sebuah bank lokal, sepenuhnya membiayai pembangunan PLTP dengan pola project financing (non-recourse). Salah satu hal yang cukup luar biasa adalah bahwa pendanaan lokal ini tidak memerlukan penjaminan pemerintah, layaknya pendanaan-pendanaan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW, yang notabene sebagian besar memakai pendanaan dari China. Sebuah langkah terobosan yang sangat luar biasa dan baru pertama kali di Indonesia bagi pembangunan sebuah PLTP. Terobosan seperti inilah yang diperlukan oleh para praktisi perbankan dan pendanaan untuk memajukan dunia industri.
1. Perlu di banggakan. Minggu, 06 Desember 09 - oleh : Leo Hendroyono
Perlu kita banggakan karena :
* memang seharusnya pemerintah Indonesia mempercayakan bahwa Putra-putra Bangsa mampu melakukakan bukan hanya orang asing yang mampu melakukan berkarya di PLTP secara nyata. Terlalu lama kita di 'tidurkan , sehingga se akan-akan tidak mampu.
* Teknologi Pembangkit Listrik adalah masalah semua umat manusia di dunia, jadi kecerdasan setiap bangsa adalah tuntutan absolute/mutlak - jika kita tidak mampu memanfaatkan sumber daya alam kita secara effisien maka jangan harap bisa bersaing secara effektif di pasar global --- apa betul nilai jual PLTP bisa mencapai di bawah US$ 0.06/ Kwh sedangkan PLN saat ini jika salah Rp1.011 per Kwh?????
* Nilai proyek diatas hanya US$103 juta ya setara kurang lebih Rp.1 Trilliun..ha...ha.. jauh lebih kecil dibandingkan kerelaan hati pemerintah mengucurkanan dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar Rp 6,7 triliun ke bank Century
Semoga semangkin banyak karya ANAK BANGSA kita diberikan pada negri kita dan pemerintah Indonesia lebih mempercayakan pada ANAK BANGSA