Berbeda dengan Eep, yang seorang pengamat politik, saya lebih suka menjadi pengamat korporat (walaupun kategori pengamat awam). Saya termasuk penganut aliran yang mempercayai bahwa kesuksesan korporat bukan karena CEO-nya yang hebat, tapi lebih karena budaya korporatnya yang spektakuler. Saya menjadi penganut aliran ini, setelah membaca buku-buku Jim Collins, dan melihat fenomena-fenomena nyatanya di berbagai perusahaan sukses di Indonesia maupun dunia. Setelah saya perhatikan, CEO korporat bisa datang dan pergi, pemilik korporat berubah-ubah, karyawan keluar-masuk, namun budaya korporat-lah yang rupanya abadi. Membangun budaya korporat yang baik, relatif sangat sulit dan sangat lama. Sedangkan menghancurkan budaya korporat sangat mudah, bahkan dapat dilakukan dalam hitungan tahun.
Pada sebuah Partai Politik (parpol), yang menurut saya seharusnya abadi, adalah ideologi parpol, bukan sang ketua Parpol. Itulah kesalahan Soeharto dan mungkin itu juga nantinya kesalahan Megawati. Menurut saya, Parpol yang memiliki ideologi-lah, yang akan berkembang dan bisa bertahan lama. Pimpinan dan pengurus Parpol bisa saling silih-berganti, namun seharusnya ideologi parpol, tidak berubah. Partai Demokrat di Amerika Serikat, ber-ideologi bahwa pemerintah (pemungutan pajak) sangat diperlukan untuk membantu rakyatnya yang tidak mampu. Sedangkan Partai Republik, justru ber-ideologi sebaliknya, pemerintah (melalui pemungutan pajak) adalah beban bagi pertumbuhan. Kedua ideologi partai yang saling bertentangan tersebut, bertahan dan terus menerus beradu kekuatan selama ratusan tahun di Amerika.
Nah, Salah satu hasil "gamblang" dari selesainya persidangan Pansus Century di DPR minggu lalu, adalah semakin "tidak gamblang-nya" ideologi parpol di Indonesia. Entah dari mana datangnya, saat ini Parpol-parpol Indonesia hanya menonjolkan 2 (dua) ideologi yang sangat sederhana, yaitu ideologi sebagai Parpol Pemerintah (Koalisi) dan ideologi sebagai Parpol Oposisi.
Semakin hari semakin tidak jelas mana parpol yang ber-ideologi ingin ber-karya bagi bangsa. Mana parpol yang akan membela "wong cilik". Mana parpol yang ingin melakukan reformasi. Mana parpol yang ingin mendorong Syariat Islam. Mana parpol yang ingin mengembangkan keperkasaan bangsa Indonesia. Mana parpol yang ideologinya ingin menciptakan pemerintah bersih dengan memberantas Korupsi. Bahkan kampanye-kampanye pemilihan ketua parpol-pun juga semakin hari semakin aneh. Aburizal Bakrie akan membawa Golkar "bekerja sama" dengan Pemerintah. Sedangkan Surya Paloh akan menjadikan Golkar sebagai oposisi Pemerintah. Hatta Rajasa akan membawa PAN untuk bekerja sama dengan Pemerintah. Drajad Wibowo akan membawa PAN menjadi oposisi pemerintah.....lho apa ideologi-nya ?
Tanpa adanya ideologi yang jelas, menjadi sangat disayangkan kalau infrastruktur parpol akhirnya dibawa untuk keperluan perseteruan pribadi. Tengoklah perseteruan Megawati terhadap SBY, yang terkesan menjadi kebencian personal. Juga tersebar berita di banyak media bahwa Ical tidak menyukai Sri Mulyani. Lalu ada juga anak Gus Dur (Yenny) yang berseteru dengan sepupunya (Muhaimin). Lalu kemudian Muhaimin dengan tantenya (Lili Wahid)....dst...dst. Dimana perseteruan-perseteruan pribadi, kemudian sepertinya membawa-bawa perangkat parpol.
Mudah-mudahan Eep tidak terbawa arus menjadi pengamat politik "pribadi". Ia seharusnya menjadi pengamat konsistensi dan komitmen parpol dalam menerapkan ideologi-nya. Selain itu, saya juga berharap semoga Pak SBY, mudah-mudahan tidak terbawa arus, untuk berseteru pribadi dengan Pak Ical.
1. Budaya korporat Sabtu, 13 Maret 10 - oleh : CEO
Saya sangat setuju dan sangat sependapat dengan pola pikir pak Hengki bahwa keberhasilan suatu korporat bukan karena dipimpin oleh seorang CEO yang hebat tetapi lebih dikarenakan oleh budaya yang sudah terbentuk dan menjadi roh didalam jiwa setiap insan yang ada didalam korporat tersebut.
Belum tentu seorang CEO BUMN misalnya yang pernah beberapa kali memperoleh anugerah CEO terbaik akan sukses memimpin BUMN lain dengan Corporate Culture yang berbeda, karena terbentuknya corporate culture di suatu korporat bukan datang dari visi dan misi serta langkah2 strategis yang didengung2kan oleh sang CEO, tetapi terbentuk dari pola pikir, pola tindak serta hati nurani yang ada didalam jiwa setiap insan yang berada dalam lingkungan korporat tersebut.
Jika sang CEO tadi tetap dengan mimpi2nya yang menganggap dirinya pernah sukses dalam menahkodai korporat lain yang memiliki budaya korporat yang berbeda, maka ditempat yang sekarang dia akan tenggelam ditelan waktu dan korporasi yang dipimpinnya akan tetap berjalan ditempat
Pada kesempatan ini juga saya berdoa dan berharap agar pak Hengki-lah yang akan memimpin Holding BUMN Pupuk di Indonesia yang akan segera terbentuk setelah Restrukturisasi berjalan karena cuma orang yang berasal dari luar industri pupuklah yang dapat melihat permasalahan yang ada di BUMN Industri pupuk Indonesia secara jernih, transparan dan independen (contoh pak dahlan iskan/PLN). Pemikiran dan pandangan pak Hengki mengenai peran penting dari budaya korporat dibanding kehebatan seorang CEO dalam keberhasilan suatu korporat sudah menjadi quality assurance yang tidak perlu diragukan lagi.
Selamat berkarir pak hengki......sukses selalu. Salam : Noviar