Apa yang ditakuti para ekonom dunia saat ini ? - pecahnya gelembung harga properti di China
Rabu, 19 Oktober 11 - oleh : Triharyo Soesilo | 0 komentar | 6085 hits
Untitled document
Hari ini berita utama yang paling menjadi pemikiran (concern) para pimpinan pemerintahan dan juga para eksekutif di seluruh dunia, adalah keluarnya data kwartal ketiga tentang melambatnya pertumbuhan di negeri China menjadi 9,1% (GDP growth). Berita tersebut, hari ini seketika diliput oleh ratusan media online. Secara sepintas, angka ini memang relative masih tinggi. Namun masalahnya adalah bahwa angka pertumbuhan kwartal ketiga, ternyata dibawah prediksi dari perkiraan 9,5%, dan juga sejak awal tahun 2011, trend-nya terus cenderung menurun. Pertumbuhan pada kwartal pertama 2011 adalah 9,7 %, pada kwartal kedua 9,5% dan kwartal ketiga turun ke 9,1%. Dalam seketika, nilai saham perusahaan-perusahaan China mulai terlihat berjatuhan. Harga komoditas dunia-pun langsung mulai menurun.
Kenapa angka pertumbuhan di China ini penting ?. Karena ekspor Indonesia dan tentunya pertumbuhan ekonomi Indonesia, agak bergantung dengan pertumbuhan di China.
Salah satu kekhawatiran yang mulai banyak diulas pada berbagai tulisan, adalah kemungkinan terjadinya “pecahnya gelembung harga properti” di China. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan di China selama ini banyak di-motori oleh sektor pengembangan infrastruktur seperti pembangunan jalan, gedung, kantor, perumahan, jalur kereta api dll. Sehingga agar pengembalian terhadap investasi properti tersebut dapat ter-realisasi, maka pertumbuhan ekonomi China harus berada pada kisaran 10 % s/d 13 %. Bila ekonomi semakin melambat, maka banyak kantor dan apartemen, kemungkinan besar akan mubazir dan akan menjadi beban hutang macet bagi dunia perbankan di China. Liputan tentang pecahnya gelembung ini, telah mulai ditulis oleh Reuters pada tanggal 11 Oktober 2011. Kemudian pada tanggal 14 Oktober 2011, Public Broadcasting Service (PBS), sebuah televisi media non-profit membuat liputan video tentang bukti adanya “Chinese Housing Bubble”.
Karena berita pecahnya gelembung harga properti di China merupakan salah satu indikator terhadap problem raksasa yang akan dihadapi negeri tersebut, yang tentunya akan sangat berdampak pada perekonomian Indonesia, saya selalu memasang “Google Alerts” untuk setiap berita yang muncul dengan topik ini. Namun uniknya, bila ada berita yang meliput pecahnya gelembung harga properti di China, biasanya dalam hitungan hari, berita tersebut langsung hilang dari media online. Nampaknya pemerintah China mengupayakan betul, agar berita tentang ini tidak menyebar meluas. Karena banyak pemilik media, seperti Rupert Murdoch, yang sangat tergantung pada pertumbuhan di China, maka tentunya ia akan berupaya untuk segera menghapus berita online tentang topik ini (bila ada seorang wartawan media tersebut yang menulisnya). Saya sudah melihat terhapusnya beberapa berita tentang topik ini di internet, misalnya di portal Wall Street Journal, di Portal The Economist (berita cetaknya tentu masih ada), dan banyak lagi yang sudah dihapus dan sekarang sudah tidak ada lagi. Hanya PBS yang masih menayangkan video tentang berita ini karena stasiun ini sifatnya non-profit. Portal berita seperti Reuters berusaha untuk meliput secara berimbang, dengan juga menulis argumentasi yang menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa pecahnya gelembung harga property ini tidak mungkin terjadi di China.
Menurut pengamatan saya, masalah ini bisa berdampak serius bagi perekonomian Indonesia, tentunya bila gelembung harga properti di China ini betul-betul pecah. Sebagai ilustrasi, Amerika dan Jepang adalah 2(dua) kekuatan ekonomi dunia yang menjadi lumpuh karena pecahnya gelembung harga properti (lihat chart), dan sampai saat ini masih sulit untuk recover. Tidak dapat dipungkiri bahwa China adalah salah satu motor ekonomi dunia saat ini. Banyak yang berharap, perekonomian di negeri ini tetap terus tumbuh. Tetapi mau tidak mau, kondisi melambatnya pertumbuhan di Amerika dan Eropa, semakin menunjukan dampak pada perekonomian negeri China.