Mungkinkah Indonesia meninggalkan pola Production sharing (KPS) ?
Senin, 10 Maret 08 - oleh : Triharyo (Hengki) | 3 komentar | 7113 hits
Untitled document
Rekans Dalam beberapa bulan terakhir ini saya kebetulan mendapat kesempatan untuk mengunjungi beberapa negara karena sedang mengerjakan beberapa proyek disana dan juga mengejar proyek-proyek baru di luar negeri. Saya sempat ke Brunei, karena kami sedang mengerjakan proyek Methanol milik pemerintah Brunei disana.
Dari Brunei saya menyeberang ke Serawak untuk melihat pengerjaan team kami di proyek Crude oil terminal milik Petronas di Miri . Kami juga sedang mengejar Proyek Gas terminal di Sabah (salah satu negara bagian Malaysia di Serawak). Foto terlampir adalah ilustrasi team proyek kami yang berada di Miri, Serawak. Selain ke negara-negara tersebut, saya juga sempat bolak-balik ke Iran dan juga ke China untuk mengerjakan proyek dan juga mengejar peluang dengan berbagai mitra di negara-negara tersebut.
Dari perjalanan-perjalanan tersebut, ada suatu fakta yang agak “mengganggu” pemikiran saya. Berikut ini fakta tersebut :
Brunei yang menerapkan pola “production sharing” (KPS) dengan perusahaan Shell Inggris, terlihat rakyatnya tidak terlalu modern (kurang maju)
Malaysia tidak memberikan kesempatan kepada satupun pihak asing untuk menguasai konsesi kekayaan alam mereka (terutama di Serawak). Mereka tidak menerapkan pola “production sharing” di Serawak. Petronas menguasai seluruh konsesi minyak dan gas di Serawak. Tidak ada satupun negara asing yang boleh memiliki konsesi minyak ataupun gas di Serawak (juga lahan kelapa sawit).
Iran mengembangkan industri energy (petrokimia), dan industri upstreamnya secara mandiri. Mereka mengembangkan industri kilang gas alam, kilang minyak, kimia dan petrokimia sepanjang ratusan kilometer dengan pemilik konsesi sumber daya alamnya adalah perusahaan BUMN Iran (tidak ada pihak asing).
Seluruh konsesi batu bara di China dimiliki oleh perusahaan-perusahaan propinsi (BUMD) dan juga BUMN di China. Tidak ada satupun pihak asing yang menguasai konsesi batubara tersebut. China juga tidak memperkenankan satupun perusahaan asing untuk melakukan “production sharing”.
Salah satu kesedihan saya akhir-akhir ini adalah membaca Peraturan Pemerintah no:57 tahun 2007 tentang Panas bumi. Aturan dan tata caranya sama persis dengan tata cara kepemilikan konsesi batu bara. Jadi mungkin tidak terlalu lama lagi, maka konsesi panas bumi akan dimiliki oleh pihak asing & dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk keuntungan pihak asing. Padahal Pasal 33 ayat 3 tidak pernah berubah bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalammya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Saya saat ini mulai memikirkan apakah pola “production sharing” (KPS) dengan pihak asing di industri minyak, gas dan tambang sebaiknya mulai ditinggalkan oleh Indonesia ?. Pola KPS ini memang diperlukan oleh Indonesia disaat kita belum menguasai teknologinya dan juga tidak memiliki dana untuk explorasi maupun exploitasinya. Namun dengan semakin majunya kemampuan teknolog Indonesia dan juga tersedianya dana di pemerintahan baik berupa APBN dan APBD, seharusnya biaya explorasi dapat dibiayai oleh Pemda ataupun Pemerintah pusat. Sehingga APBN, APBD & PAD (pendapatan asli daerah) tidak hanya disimpan di SBI atau digunakan untuk proyek-proyek yang return-nya tidak jelas. Demikian pemikiran yang mulai “terngiang-ngiang” di kepala saya.
Salam Hengki
Tanggapan/komentar dari Irwan Qarana:Saya saat ini mulai memikirkan apakah pola “production sharing” (KPS) dengan pihak asing di industri minyak, gas dan tambang sebaiknya mulai ditinggalkan oleh Indonesia ?. Bukan tidak mungkin bisa dimulai. Dana yang nantinya berasal dari bahan galian tambang ini sangat banyak manfaatnya terutama untuk pemerataan pendidikan bangsa. Saat ini harga galian tambang seperti meroket, emas tembus ke usd 1000 per ons, minyak bisa jadi usd 100 per barrel dst. Pola KPS ini memang diperlukan oleh Indonesia disaat kita belum menguasai teknologinya dan juga tidak memiliki dana untuk explorasi maupun exploitasinya. Namun dengan semakin majunya kemampuan teknolog Indonesia Analisa yang sangat jitu!, melihat inventaris pemetaan bahan galian dan potensi yang ada. Seharusnya bangsa ini tidak akan kekurangan dana atau harus menjajakan TKW jika bahan tambang itu dikelola dengan benar oleh bangsa ini. Di Indonesia bahkan di luar sono sebetulnya kemampuan kita dalam melakukan ekplorasi sampai produksi sudah sangat mumpuni, tentunya ditunjang dengan peralatan yang dijual bebas diluar sana. Dengan berjalannya waktu peralatan tersebut juga bisa dibuat didalam negeri. juga tersedianya dana di pemerintahan baik berupa APBN dan APBD, seharusnya biaya explorasi dapat dibiayai oleh Pemda ataupun Pemerintah pusat Tambahann keuntungan yang luar biasa kalau biaya ekplorasi ini dikelola dan datang dari pemerintah adalah ganguan non teknis dalam ekplorasi yang biasanya menelan biaya besar bisa di hemat. Iklim ekplorasi bisa diciptakan sehingga rakyatpun sadar bahwa hasil tambang itu kelak akan mereka nikmati. Demikian pemikiran yang mulai “terngiang-ngiang” di kepala saya Mudah mudahan niat baik yang 'terngiang ngiang' suatu saat akan jadi kenyataan. Salam, Irwan Qarana.
Mungkinkah Indonesia meninggalkan pola KPS ?
Jawabannya: mungkin saja, kenapa tidak.
Dalam industri migas ada beberapa mitos yang selama ini membuat industri migas nasional tertinggal:
1. Pada modal, siklus eksplorasi-pengembangan-produk si sekitar 3-10 tahun dengan skala investasi ratusan juta dollar.
2. Padat Teknologi, teknologi tinggi itu mahal tapi tersedia dalam bentuk jasa.
3. Beresiko tinggi, tingga keberhasilan yang rendah (rasio sukses sumur eksplorasi sekitar 10-15%), namun hal ini bersifat calculated risk serta merupakan proses pembelajaran menuju sukses. Modal para pemain migas dunia adalah penumpukkan pengalaman karena sudah beroperasi bertahun-tahun. Mengenai resiko, kita bisa juga memilih area-area dengan resiko rendah untuk dikelola sendiri sedangkan yang beresiko tinggi bisa diserahkan kepada investor luar.
Kalau kita bisa menghilangkan mitos itu dari para pengambil kebijaksanaan dan ivestor nasional, maka pengembangan industri migas nasional bisa lebih dipercepat. Medco adalah salah satu contoh sukses (dan hal tsb dicapai tidak dalam waktu sekejab. Tapi masak industri migas kita yang sudah 125 tahun hanya bisa melahirkan Medco..?
salam,
2. Mungkinkah Indonesia meninggalkan pola KPS ? Minggu, 26 Desember 10 - oleh : iswahyudi
Menurut hemat saya yang awam. kita bisa melakukannya. namun yang diperlukan adalah keberanian kemauan untuk mandiri. Para ahli dibidang explorasi cukup banyak di negeri kita. contractor jasa pemboran dan service bisa kita gunakan untuk membantu kita dalam menganalisis, menentukan dan mengurangi faktor resiko tersebut. Resiko bukanlah suatu kegagalan dan kesalahan jika pada awalnya kita telah memperhitungkan secara matang. Penggawa explorasi medco Pak Jhon Karamoy telah berhasil mengeksplorasi sumur di tua di palembang- soka dari HUFCO.
Jika kita memerlukan data-data akurat mengenai blok baru kita bisa melakukannya ;
1. Kita perlu membeli alat baru
2. Kita perlu memperkerjakan ahli dari luar sbg pendamping ahli dalam negeri.
3. kita bisa membuat pusat studi explorasi
4. kita bisa menggandeng consultan luar untuk membantu kita shg target yang kt harapkan bs tercapai.
5. kita bisa memetakan/mapping risk analysis dari setiap potensi dari blok-blok baru kita.
6. Kita bisa melakukan pemboran jika semua hal teknis telah dilakukan analisa secara mendetail.
7. kita perlu keberanian, negara perlu negarawan yang berani merobek sebuah tradisi.
Hal ini merefleksi memory saya disaat saya diterima di sebuah BUMN EPC dan langsung diterjunkan kelapangan setelah 1 minggu di HO untuk menjadi SI. Rasanya ibarat di lempar di padang pasir yang luas, namun dengan keyakinan dan analisa teknis pemetaan job yang saya lakukan, maka end pointnya MC ROPP tercapai dimana saya adalah SI yang menghandle end pekerjaan piping setelah hidrotest precom release.
Inilah menurut saya, jika kita mengumpulkan segala energi dan solid serta disertai dengan perhitungan, maka kita akan bisa.
Kira-kira begitu menurut saya. Semoga UUD pasal 33 tidaklah sebuah mimpi
3. production sharing Rabu, 30 Nopember 11 - oleh : rokky
betul sekali,production sharing apapun mesti mulai kita tinggalkan alkhusus minyak dan gas bumi,banyak jago2 putra putri pertiwi dalam hal pengolahan pertambangan.tinggal pemerintah mau atau tidak.tapi rupa2nya kita masih suka males2an bekerja cuma fee nampaknya yang mudah ditelan saat ini.ternyata kita termasuk negara yang kurang maju.......kata dunia